Friday, September 25, 2020

Pasien Stroke dengan 10 Dokter Spesialis

(1) Spesialis saraf

(2) Spesialis bedah saraf

(3) Spesialis anastesi

(4) Spesialis jantung

(5) Spesialis paru

(6) Spesialis penyakit dalam

(7) Spesialis penyakit mulut

(8) Spesialis rehabilitasi medik

(9) Spesialis mikrobiologi

(10) Spesialis gizi klinik

Setidaknya ada 10 dokter dengan spesialisasi di atas yang ikut menangani pasien saya yang satu ini.

Pasien datang diantar keluarganya ke IGD dengan keluhan utama tiba-tiba mengalami penurunan kesadaran yang didahului nyeri kepala dan muntah-muntah. Hasil pemeriksaan menunjukkan keasadaran menurun, tekanan darah (TD) saat di IGD 210/110. Pasien dicurigai mengalami serangan stroke dan dikonsulkan oleh dokter jaga IGD ke dokter spesialis saraf(1). Segera dilakukan Head CT Scan, ternyata terdapat perdarahan intracerebral dan intraventrikuler dengan volume lebih dari 30 cc. Pasien segera dikonsulkan ke dokter spesialis bedah saraf(2). Dokter bedah saraf memutuskan harus dilakukan operasi cito.

Paska operasi pasien dirawat di ICU sehingga ditangani pula oleh dokter spesialis anastesi(3). Satu hari paska operasi pasien masih mengalami penurunan kesadaran. Hari ke-4 kondisi klinis dan kesadaran pasien membaik, pasien diputuskan sudah tidak perlu perawatan intensif di ICU sehingga dipindahkan ke ruangan perawatan stroke.

Kondisi TD pasien masih tinggi dan pasien mengalami demam. Saya putuskan untuk tetap memberikan aggressive treatment untuk menurunkan TD dengan obat infus intravena. Hari berikutnya target penurunan TD belum tercapai sehingga saya putuskan untuk konsul ke dokter spesialis jantung(4) untuk mengatasi problem hipertensi refrakter pada pasien.

Visite hari ke-6 pasein masih demam dan mengeluatkan sekret lendir dan napasnya tampak grok-grok. Saya konsulkan ke dokter spseiaslis paru(5) karena curiga kemungkinan ke arah pneumonia. Hasil pemeriksaan dokter spesialis paru ternyata bukan pneumonia, kemungkinan retensi lendir karena pasien tirah baring lama. Diprogramkan pemberian obat melalui nebulizer dan chest therapy untuk membantu mengeluarkan lendir.

Karena masih demam, saya putuskan untuk konsul ke dokter spesialis penyakit dalam(6) untuk pelacakan penyebab demamnya. Analisis dokter penyakit dalam curiga ke arah infeksi saluran kencing. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur untuk memastikan kuman penyebabnya.

Problem lain muncul ternyata pasien juga mulai muncul sariawan di mulutnya. Saya putuskan untuk konsul ke doktrer gigi spesialis penyakit mulut(7). Pasien mendapat obat oles dan beberapa hari kemudian keluhan membaik.

Beberapa hari berikutnya kondisi umum pasien mulai mebaik. TD mulai terkontrol dan sudah tidak lagi demam. Tidak lupa pasien saya konsulkan ke dokter spesialis rehabilitasi medik(8). Dari pemeriksaan didapatkan hasil hemiparesis dextra dan afasia sehingga pasien memerlukan fisioterapi dan speech therapy. Tidak lupa diprogramkan juga chest therapy untuk mencegah terjadinya infeksi paru.

Selang beberapai hari setelah pemeriksaan kultur darah, dokter spesialis mikrobiologi(9) mengabarkan ada infeksi bakteri dan perlu pemberian antibiotik yang sensitif untuk bakteri tersebut. Beliau juga menyarankan untuk mencegah infeksi dengan mulai mobilisasi, chest therapy, dan mencopot kateter urin.

Hari ke-13 perawatan pasien sudah mulai tampak lebih segar. Pasien saya rencanakan untuk pulang. Sebelum pulang pasien saya konsulkan ke dokter spesialis gizi klinik(10) agar pasien dan keluarga mendapatkan informasi tentang diet makanan yang tepat untuk pasien.

Hari ke-14 pasien sudah bisa pulang dari rumah sakit. Kondisi pasien baik, namun pasien masih memiliki disabilitas kelemahan anggota gerak kanan dan afasia yang memerlukan fisioterapi dan terapi wicara berkala untuk membantu memperbaiki fungsinya.

Jadilah pasien ini dirwat oleh 10 orang dokter spesialis. Belum lagi termasuk peran dokter umum di IGD, maupun dokter spesialis radiologi dan spesialis patologi klinik yang juga memiliki peran penting di balik layar. Demikianlah dinamika merawat pasien stroke. Terkadang kita butuh untuk kolaborasi dengan dokter spesialis bidang lain sesuai dengan kompetensi masing-masing. Inilah stroke, terkadang problemnya sangat kompleks. Butuh perawatan beberapa hari, butuh macam-macam pemeriksaan ini dan itu, serta perlu koordinasi dan kolabolarsi dengan banyak ahli.

Maka, sungguh memprihatinkan kalo ada iklan pengobatan stroke cukup dengan terapi lintah, tusuk jarum, atau sekedar injak-injak kaki. Dan kami lebih prihatin lagi jika ternyata banyak yang mempercayainya. Tidak sedikit, kasus stroke yang kondisinya memburuk karena terlambat  penanganan atau salah dalam memberikan pengobatan. 



Sunday, September 13, 2020

Mitos Ngeri Epilepsi



Banyak masyarakat beranggapan keliru tentang penyakit epilepsi. Mitos yang salah tentang penyakit ini pun terus berkembang di masyarakat. Di antara mitos yang beredar di masyarakat antara lain adanya anggapan bahwa epilepsi bisa menular. Anggapan seperti ini keliru, epilepsi bukanlah penyakit menular. Penyakit yang bisa menular adalah penyakit yang disebabkan karena infeksi kuman. Seseorang tidak akan mengalami epilepsi saat berdekatan dengan penderita epilepsi. Orang sehat juga tidak akan mengalami epilepsi jika bersentuhan dengan pendertia epilepsi, bahkan jika terkena ludahnya sekalipun. Oleh karena itu, tidak ada masalah orang yang sehat berinteraksi dan bergaul dengan penderita epilepsi karena epilepsi bukanlah penyakit menular.

Mitos yang lain adalah menganggap epilepsi sebagai bentuk dari penyakit sawan atau kekuatan gaib, kesurupan, kemasukan roh jahat, bahkan dianggap sebagai kutukan Tuhan. Mitos ini masih banyak berkembang di masyarakat. Inilah mitos negatif yang justru memojokkan penderita epilepsi. Mitos ini juga mengakibatkan penderita epilepsi semakin dikucilkan. Fenomena tersebut terlihat pada masih banyaknya kejadian penderita yang mengalami serangan epilepsi namun tidak segera ditolong dengan cepat dan bahkan didiamkan atau ditinggal begitu saja.

Masih ada juga yang menganggap bahwa penderita epilepsi pasti selalu cacat mental. Bisa dikatakan bahwa IQ tidak ada kaitannya dengan penyakit epilepsi. Banyak orang yang menganggap penderita epilepsi adalah bodoh atau IQ jongkok dan mengalami cacat mental. Anggapan ini tidak benar, bahkan dalam realitanya banyak penderita epilepsi yang memiliki IQ yang tingginya di atas rata-rata. Melihat adanya fakta ini, maka kini penderita epilepsi atau keluarga yang memiliki penderita epilepsi haruslah lebih baik dalam melihat potensi apa yang dimiliki pada penderita epilepsi sehingga tidak terkena diskriminasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada penderita epilepsi, fungsi dari bagian otak dan tubuh lainnya bisa jadi masih normal. Bahkan konon katanya nama-nama terkenal seperti Sir Alfred Nobel, Napoleon, dan Socrates dikenal sebagai penderita epilepsi.

Mitos ngeri dan tidak benar tentang epilepsi harus dihilangkan dari masyarakat. Epilepsi bukan penyakit menular maupun penyakit kutukan sehingga penderitanya pun tidak boleh dikucilkan. Jangan khawatir bagi penderita epilepsi karena pada banyak kasus penyakit ini bisa disembuhkan asal mendapatkan penanganan yang tepat.

Cintaku Pada Nevi

Namanya adalah Nevi Kedengarannya cantik sekali Pertama kali kenal dalam sebuah presentasi Materi tentang cerebal angiografi Yang di...